Jumat, 17 Mei 2019

Bahasa Jawa

Di jaman yang seperti ini kita tidak heran bahwa generasi muda sudah enggan atau bahkan tidak mau tahu dengan bahasa daerah mereka. Di sini saya sebagai guru khususnya bahasa Jawa selalu tidak bosan untuk selalu memberi motivasi kepada siswa-siswi saya untuk selalu ingat, menghargai dan menggunakan bahasa Jawa. Jangan pernah malu atau gengsi bila kamu menggunakan bahasa Jawa. Jangan pernah kamu melupakan bahasa Jawa karena bahasa Jawa merupakan salah-satu yang bisa membentuk karakter generasi bangsa.
Mahirlah kamu berbahasa Inggris, Bisa berbahasa Indonesia dan janganlah kamu melupakan bahasa Jawa. Itu yang selalu saya sampaikan kepada siswa-siswi saya agar mereka tetap mau untuk berbahasa Jawa.
Generasi muda indonesia ayo kita selalu bangga dan menunjukkan kepada bangsa lain bahwa kita mempunyai kekayaan yang tiada tara. Salah satunya berupa bahasa Jawa mari kita lestarikan, kita gunakan, kita kembangkan.
Saya membutuhkan dukungan kepada semua pihak untuk mengembangkan Basaha Jawa tersebut. Karena tidaklah mungkin saya bisa mewujudkan bila tanpa ada yang peduli kepada bahasa Jawa. Untuk sementara ini saya hanya bisa mengembangkan lewat tulisan ini dan lewat siswa-siswi saya. Alhamdulillah siswa-siswi saya sangat antusias saat saya beri pengertian bahwa betapa pentingnya bahasa Jawa sebagai jati diri bangsa kita.
Awal anak-anak sangat tidak menyukai bahasa Jawa tapi sekarang anak-anak sangat gemes dan menyukai bahasa Jawa karena saya menginginkan anak-anak selalu menggunkan bahasa Jawa saat berbicara dengan saya, hal itulah yang membuat anak-anak gemes dan selalu mencoba untuk berbicara berbahasa Jawa.

Terimakasih kepada : SMPN 3 KRIAN, siswa-siswi dan semua pihak yang masih peduli dengan bahasa Jawa.


Salam YEKTI ERIANI

Matur Nuwun

ARTIKEL PENELITIAN MAPEL BAHASA JAWA

PENINGKATAN KETERAMPILAN PIDATO BERBAHASA JAWA
DENGAN  METODE PEMODELAN

Yekti Eriani

Abstract
In this modern society, everything must be modern. Science and technology has changed our live, especially our culture. Basa Jawa as traditional Javanese language has been reduced in use by our own society. The globalization has made our society think and has a new perseption about their language. Must be seen modern when they talk with another person. In other side, Basa Jawa is unique language. It has a lot of philosophies in Javanese live. More than just a language.
Speaking is one of four aspects of basic ability on language. Every students in secondary school must have this basic learning, basic knowledge of speaking ability. By practicing speech ability in Basa Jawa, the students are hoped they will have more abilities in oral communications and increasing their confidents to use Basa Jawa.
In this observation, observer implement direct modeling methode to increase speech abilities of SMPN 3 Krian – Sidoarjo students especially IX-B class that contain of 32 students.
By using forecast and data analyst system to know effectivity of direct modeling methode on speech ability, the observer records, compares, and estimates observation data on four classified datas. 
The final results of this observation shows that the speech abilities of SMPN 3 Krian – Sidoarjo students could be increased by using direct modeling methode.

Keywords : modern, culture, Basa Jawa, society, speech, ability, modeling, increase.
__________________________________________________________
Yekti Eriani adalah Guru Muatan Lokal Bahasa Jawa SMPN 3 Krian – Sidoarjo


Dalam kehidupan masyarakat saat ini khususnya masyarakat Jawa, pemakaian bahasa Jawa yang benar dalam kehidupan sehari-hari saat ini sangatlah kurang. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan komunikasi para siswa tingkat dasar khususnya pada Sekolah Menengah Pertama.
Berbicara adalah satu dari empat aspek dasar yang ingin dicapai dalam pembelajaran berbahasa. Dalam kenyataannya banyak siswa yang kurang mampu berbicara menggunakan bahasa Jawa secara tepat ketika berbicara dengan teman, guru, maupun orangtua. Melalui ketrampilan pidato berbahasa Jawa, siswa diharapkan mampu menggunakan bahasa Jawa yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa Jawa merupakan salah satu jenis bahasa yang tergolong kompleks, baik dari segi tata bahasa, penggunaan (menggunakan berbagai tataran atau  undha-usuk), penulisan,  dan bahkan sampai pada materi pembelajaran bahasa Jawa itu sendiri ( mencakup beberapa bahan ajar disampaikan kepada siswa). Salah satunya adalah tentang pembelajaran yang berhubungan dengan keterampilan berbicara.
Sebagian besar siswa saat ini kurang mampu bertutur kata dengan menggunakan bahasa Jawa yang baik. Banyak faktor penyebab, salah satunya kebiasaan berbicara yang enggan mempergunakan bahasa Jawa,  baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sehingga kondisi tersebut sangat mempengaruhi hasil belajar bahasa Jawa siswa  SMP Negeri 3 Krian. Data terakhir, hasil pembelajaran bahasa Jawa pada pembelajaran Kopetensi Dasar Berpidato rata-rata hanya 30-40% saja siswa yang mampu mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM ), sedangkan selebihnya cukup kesulitan dalam proses pencapaiannya.
Guna meningkatkan kemampuan siswa dalam ketrampilan berbicara khususnya berpidato, peneliti mengunakan pembelajaran kontekstual ( CTL ) dan metode Pemodelan (Modeling).
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya Jawab lisan ( ramah, terbuka, negosiasi ) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling). Diharapkan siswa termotivasi, dunia pikiran siswa menjadi lebih konkret, suasana menjadi kondusif, nyaman, dan menyenangkan sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajikan. Prinsip pembelajaran kontekstual  adalah aktivitas siswa. Siswa terlibat langsung dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, tetapi melakukan pengembangan kemampuan bersosialisasi. 
Sedangkan Pemodelan ( modeling ) merupakan pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, dan contoh.
Dengan demikian keterampilan siswa diharapkan akan meningkat sebab seluruh siswa akan saling berinteraksi, saling berlatih dan saling mengungkapkan pengalaman belajarnya selama proses pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk selalu berusaha meningkatkan keterampilan berbicara khususnya berpidato.
Melalui penelitian ini penulis ingin mengetahui efektifitas penggunaan metode pemodelan langsung dalam meningkatkan kemampuan pidato berbahasa Jawa siswa. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai 1) Meningkatkan keterampilan siswa dalam pidato berbahasa Jawa dengan menggunakan metode Pemodelan, 2) Mendorong siswa lebih termotivasi dan aktif dalam pembelajaran melalui  metode pemodelan secara langsung, 3) Menumbuhkan kepercayaan diri siswa dalam kegiatan berpidato, 4) Meningkatkan kemampuan daya kreatifitas guru dalam pembelajaran bahasa Jawa, 5) Memberikan gambaran tentang model pembelajaran yang bervariasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Jawa, 6) Meningkatkan suasana pembelajaran bahasa Jawa yang menyenangkan yang terpusat kepada siswa, 7) Menambah literasi pengembangan kemampuan pidato berbahasa Jawa.
Hasil penelitian ini setelah diterapkan diharapkan akan bermanfaat bagi para guru yang ingin mengembangkan teknik pembelajaran pidato berbahasa Jawa dengan menggunakan sistem pemodelan langsung dalam upaya meningkatkan keterampilan penggunaan bahasa Jawa secara lisan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu pembaruan model pembelajaran Bahasa Jawa secara lisan.




Metode
 Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah pendekatan kualitatif, sebab penelitian ini dilakukan karena ditemukan permasalahan pembelajaran di kelas. Permasalahan ini ditindak lanjuti dengan cara menguji coba sebuah model pembelajaran yang kemudian direfleksi, dianalisis dan dilakukan uji coba kembali dari siklus ke siklus berikutnya.
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, model Stephen Kemmis dan Mc. Taggart (1998), model ini menggunakan sistem spiral refleksi diri yang dimulai dari rencana, tindakan, pengamatan, refleksi dan perencanaan kembali yang merupakan dasar untuk suatu ancang-ancang pemecahan masalah.
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX-B SMP Negeri 3 Krian – Kabupaten Sidoarjo, dengan jumlah 32 siswa. Penelitian ini dilakukan dalam waktu 2 bulan yang dibagi dalam 2 siklus dengan prosedur penelitian masing-masing terdiri atas (1) rencana tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan (4) refleksi.  Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui (1) observasi langsung oleh untuk mengukur kemampuan psikomotor siswa, (2) observasi langsung untuk mengukur perilaku berkarakter siswa, (3) Angket siswa, untuk mengukur tingkat ketertarikan siswa, (4) observasi yang dilakukan oleh teman sejawat untuk memberikan penilaian peningkatan dalam proses pembelajaran di kelas.
Analisis data dilakukan secara kuantitatif terhadap hasil psikomotor siswa dan kualitatif diambil dari hasil pengamatan selama pelaksanaan tindakan dan hasil angket siswa dipergunakan untuk klarifikasi hasil observasi yang dilakukan guru sekaligus untuk mengetahui peningkatan rasa percaya diri siswa.



Hasil dan Pembahasan
Penelitian terbagi dalam 2 siklus penilaian dan pengamatan. Pada siklus I, tahap persiapan pelaksanaan penelitian terdiri atas 1) Mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 1 bendel, 2) Media, berupa seperangkat perangkat audiovisual, 3) Bahan ajar, berupa Lembar Kerja Siswa (LKS), 4) Alat penilaian, berupa LP1, LP2, dan LP3, 5) Instrumen observasi,berupa LP 4, dan 6) Catatan lapangan (Note field). Pada tahap awal penulis melakukan observasi kelas untuk persiapan dan pemetaan tahap selanjutnya yang meliputi jumlah siswa, tata ruang, dan susunan bangku model U
Pada tahap pelaksanaan penelitian berdasarkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penulis melaksanakan penelitian ini dibantu seorang teman sejawat pengajar mata pelajaran bahasa Jawa untuk mengamati selama proses pembelajaran dan memantau hasil penilaian siswa. Durasi yang digunakan adalah 2 x 40 menit yang dibagi dalam 4 (empat) kali pertemuan.
Pertemuan ke-1 pada pelaksanaan penelitian pada siklus I pertemuan ke-1 berdurasi 2 x 40 menit dengan topik bahasan keterampilan pidato berbahasa Jawa. Materi disampaikan dengan menggunakan media audiovisual, siswa diajak memperhatikan tata cara pidato dari beberapa sajian audiovisual yang ada.
Pertemuan ke-2 pada pelaksanaan penelitian siklus I pertemuan ke-2 berdurasi 2 x 40 menit yang digunakan untuk melakukan tahap penilaian dan pengambilan data siklus I, dimana setiap siswa secara bergantian diberikan waktu 1 (satu) menit untuk berpidato singkat di depan kelas dengan topik bebas yang harus disampaikan dengan bahasa Jawa serta dengan terlebih dahulu menyerahkan salinan (fotocopy) teks pidato yang akan dibawakan kepada guru sebagai bahan perbandingan dalam penilaian.
Pada tahap pengamatan atau observasi, proses pengajaran diamati oleh  seorang teman sejawat sebagai pengamat (observer) yang telah siap untuk menggunakan format observasinya dan mencatat serta memberikan penilaian-penilaian terhadap kriteria pengamatan untuk mempermudah menginterprestasikan kejadian selama dalam proses pengajaran tersebut. Selain itu, pengamat juga dibekali dengan catatan lapangan (note field), untuk mencatat jika ada kemungkiann ditemukannya kejadian-kejadian yang belum tercantum dalam lembar observasi.
Pada tahap refleksi, hasil pengamatan dalam lembar observasi siklus I direfleksikan dan diinterpretasikan untuk mendapatkan perbaikan, hal-hal yang masih dianggap kurang akan direncanakan kembali untuk proses perbaikan pada proses pembelajaran siklus II.
Pada siklus I, metode pengajaran menggunakan Pemodelan dengan media audiovisual dan diperoleh hasil (1) hasil refleksi pada siklus I, bahwa dari data Lembar Penilaian Psikomotor Siswa ( LP1 ) siklus I diperoleh > 60% (lebih dari enam puluh persen) siswa belum mencapai KKM, (2) Hasil refleksi Lembar Penilaian Perilaku Berkarakter ( LP2 ) siklus I diperoleh 43,75 % (empat puluh tiga koma tujuh lima persen) siswa kurang aktif berusaha belajar pidato berbahasa Jawa, (3) Hasil dari Lembar Angket Ketertarikan Siswa ( LP3 ) siklus I diperoleh data 50% (lima puluh persen) siswa menyatakan tidak tertarik ( memberikan Nilai D pada LP3 ) terhadap pengajaran Pidato berbahasa Jawa, (4) Hasil Lembar Penilaian Aktifitas Guru (LP4) diperoleh data > 60% (lebih dari enam puluh persen) peneliti sudah aktif dan bertanggung jawab terhadap siswa dalam pembelajaran pidato berbahasa Jawa. Sehingga perlu diadakan revisi terhadap rencana pengajaran (RPP) pada siklus II. Revisi RPP pada siklus II adalah menitik beratkan pada usaha pengajaran dengan Pemodelan secara langsung, dimana guru bertindak sebagai model langsung dalam pengajaran pidato berbahasa Jawa ini.
Revisi RPP yang telah dilakukan pada siklus I dilaksanakan pada siklus II pertemuan ke-1 dan ke-2, dimana Pemodelan secara langsung diobservasi sama dengan siklus I yaitu menggunakan LP1, LP2, LP3, dan LP4.
Pada Pertemuan ke-1 pada siklus II berdurasi 2 x 40 menit yang digunakan untuk melakukan tahap penilaian dan pengambilan data siklus II, dengan acuan pelaksanaan menggunakan RPP revisi dari hasil observasi siklus I pertemuan ke-2.
Selanjutnya guru memberikan contoh langsung pemodelan dan bertindak sebagai orator dengan mendemostrasikan langsung dihadapan siswa serta menunjukkan bentuk pidato berbahasa Jawa yang benar. Kemudian setiap siswa secara bergantian diberikan waktu 1 (satu) menit untuk berpidato singkat di depan kelas dengan topik bebas (boleh sama seperti pada siklus I pertemuan ke-2 dengan melakukan perbaikan tehnik berpidatonya atau dengan topik berbeda yang lebih sederhana dan dikuasai oleh siswa) yang harus disampaikan dengan bahasa Jawa serta terlebih dahulu menyerahkan salinan (fotocopy) teks pidato yang akan dibawakan kepada guru sebagai bahan perbandingan dalam penilaian. Selama proses berpidato dilakukan penilaian dan pencatatan pada LP1 dan LP2, sedangkan LP3 disampaikan kepada siswa setelah seluruh siswa telah selesai menyampaikan pidatonya. Pengamat atau observer tetap memberikan hasil penilaiannya atas pengamatannya terhadap proses pengajaran siklus II pertemuan ke-2 ini pada LP4.
Pertemuan ke-2 siklus II jika pada pertemuan ke-1 masih terdapat siswa yang masih belum menyampaikan pidato karena berbagai alasan atau karena alokasi waktu yang kurang, maka pada pertemuan-2 ini dapat dilanjutkan dengan langkah sama seperti pertemuan-1.
Dari hasil penilaian dan pengamatan baik terhadap perkembangan siswa maupun proses pengajaran yang dituangkan dalam LP1, LP2, LP3, dan LP4, maka penulis dapat melakukan pengolahan terhadap data yang diperoleh untuk langkah selanjutnya. Data LP1 diolah sesuai dengan kriteria penilaian terhadap psikomotor siswa dan dibandingkan dengan data dari hasil olahan pada siklus I, hasil olahan berupa data kuantitatif dengan rentang data 1-100 yang kemudian ditarik kesimpulannya setelah diperbandingkan. Data LP2 diolah sesuai dengan kriteria penilaian perilaku berkarakter siswa dan dibandingkan dengan data dari hasil olahan pada siklus I, hasil olahan berupa data kualitatif yang mencerminkan perilaku siswa terhadap pidato berbahasa Jawa, serta dapat ditarik kesimpulannya setelah diperbandingkan terhadap data pada siklus I. Data LP3 berupa angket tingkat ketertarikan siswa diolah dan diperbandingkan dengan data pada siklus I. Hasil olahan berupa data kualitatif yang mencerminkan tingkat ketertarikan siswa terhadap pengajaran pidato berbahasa Jawa, dan dapat ditarik kesimpulannya setelah diperbandingkan terhadap data pada siklus I. Data LP4 yang merupakan data pengamatan observer terhadap proses pengajaran pidato berbahasa Jawa juga diolah untuk lebih mengetahui aspek-aspek dan hal-hal yang dapat memperbaiki proses pengajaran pidato berbahasa Jawa secara keseluruhan, kemudian ditarik kesimpulan setelah  diperbandingkan terlebih dahulu terhadap data pada siklus I. Data ini bersifat kualitatif yang mencerminkan tingkat keberhasilan proses pengajaran pidato berbahasa Jawa setelah mengalami kajian dan revisi pada siklus II.
Dari hasil data LP1, LP2, LP3, dan LP4 baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif ditarik suatu hubungan yang dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kelemahan maupun kelebihan metode pemodelan pada pengajaran pidato berbahasa Jawa ini.
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, bahwa dari data Lembar Penilaian Psikomotor Siswa ( LP1 ) diperoleh 43,75 % (empat puluh tiga koma tujuh lima persen) atau setara 14 (empat belas) siswa belum mencapai KKM. Sedangkan pada siklus II setelah melalalui langkah perbaikan revisi RPP dan penerapan pemodelan langsung diperoleh 18,75 % (delapan belas koma tujuh lima persen) atau setara 6 (enam) siswa belum mencapai KKM. Peningkatan mencapai 25 % (dua puluh lima persen) atau setara 8 (delapan) siswa. Sehingga total siswa yang telah mencapai KKM menjadi 81,25 % (delapan puluh satu koma dua lima persen) atau setara 26 (dua puluh enam) siswa.
Berdasarkan hasil refleksi Lembar Penilaian Perilaku Berkarakter ( LP2 ) pada siklus I diperoleh 43,75 % (empat puluh tiga koma tujuh lima persen) atau setara dengan 14 (empat belas) siswa kurang aktif berusaha belajar pidato berbahasa Jawa. Sedangkan pada siklus II setelah melalui revisi RPP dan penerapan pemodelan langsung diperoleh 15,625 % (lima belas koma enam dua lima persen) atau setara dengan 5 (lima) siswa masih tetap kurang aktif berusaha belajar pidato berbahasa Jawa. Peningkatan respon dan ketertarikan siswa sebesar 28,125 % (dua puluh delapan koma satu dua lima persen) atau setara dengan 9 (tujuh) siswa menjadi lebih aktif berusaha belajar pidato berbahasa Jawa. Sehingga total siswa yang aktif berusaha belajar pidato berbahasa Jawa menjadi 84,375 % (delapan puluh empat koma tiga tujuh lima persen) atau setara 27 (dua puluh tujuh) siswa.
Berdasarkan hasil refleksi Lembar Angket Ketertarikan Siswa ( LP3 ) pada siklus I diperoleh 50% (Lima puluh persen) atau setara dengan 16 (enam belas) siswa menyatakan tidak tertarik ( memberikan Nilai 1 pada LP3 ) terhadap pengajaran Pidato berbahasa Jawa. Sedangkan pada siklus II setelah melalui revisi RPP dan penerapan pemodelan langsung diperoleh peningkatan ketertarikan sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) atau setara dengan 12 (dua belas) siswa menjadi tertarik dengan materi pidato berbahasa Jawa. Sedangkan sebesar 12,5 % (dua belas koma lima persen) atau setara 4 (empat) siswa masih tetap kurang tertarik. Sehingga total siswa yang tertarik belajar pidato berbahasa Jawa menjadi 87,5% (delapan puluh tujuh koma lima persen) atau setara 28 (dua puluh delapan) siswa.
Sedangkan berdasarkan Lembar Penilaian Aktifitas Guru (LP4) pada siklus I diperoleh data 60% (enam puluh persen) peneliti sudah aktif dan bertanggung jawab terhadap siswa dalam pembelajaran pidato berbahasa Jawa. Sedangkan pada siklus II diperoleh nilai pengamatan sebesar 80 % (delapan puluh persen) untuk penilaian tingkat keaktifan dan tanggung jawab peneliti terhadap siswa yang dilakukan oleh seorang teman sejawat pengajar bahasa Jawa sebagai Pengamat yang telah memberikan penilaian dan pengamatan secara obyektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan terhadap keaktifan dan tanggung jawab peneliti terhadap siswa sebesar 20 % (dua puluh persen).

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan data penelitian yang telah dilaksanakan secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pemodelan (modeling) langsung mampu meningkatkan pencapaian nilai KKM siswa, tingkat keaktifan – respon siswa, dan tingkat ketertarikan siswa terhadap pembelajaran pidato berbahasa Jawa serta juga dapat meningkatkan tingkat keaktifan – tanggung jawab peneliti terhadap siswa dalam proses pengajaran pidato berbahasa Jawa dengan hasil peningkatan cukup signifikan, sehingga di kemudian hari diharapkan metode tersebut dapat dipakai dan diterapkan untuk meningkatkan pencapaian indikator dalam proses pengajaran pidato berbahasa Jawa oleh pihak lain yang membutuhkan.
Dalam Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) pengajaran pidato berbahasa Jawa, kendala terbesar yang dihadapi peneliti adalah sulitnya memotivasi siswa untuk mau menggunakan bahasa Jawa.
Dari pengalaman melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini peneliti menyarankan beberapa hal yang harus diperhatikan bagi yang akan menerapkan model pembelajaran ini, yaitu (1) Sebelum pembelajaran dimulai guru perlu memotivasi siswa terlebih dahulu agar timbul rasa percaya diri mereka, karena siswa akan mengungkapkan bahasa mereka sendiri berdasarkan pengalamannya serta harus tercipta suasana kelas yang kondusif untuk terlaksananya proses belajar, (2) Penilaian proses pembelajaran dilakukan seefektif mungkin agar dapat menghemat waktu. (3) Penjelasan tentang Kriteria Penilaian perlu dijelaskan untuk dipahami oleh siswa sebelum proses penilaian dimulai sehingga siswa dapat berlatih memiliki kesiapan untuk mencapai skor maksimal, (d) Penyampaian Peta konsep tentang hal-hal esensi yang perlu didiskripsikan agar membantu siswa dalam belajar dan berlatih untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, (5) Siswa diusahakan belajar dalam kelompok, karena dengan berkelompok siswa akan belajar bersosialisasi, saling bertanya, saling memberikan pandangan, saling menilai, saling memotivasi, dan saling mengasah individu serta mampu mengukur kemampuan diri sendiri. Hal ini diharapkan akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa, sikap saling menghormati, dan meminimalkan siswa yang memiliki kekurang percayaan diri dalam berbahasa secara lisan menggunakan Bahasa Jawa.


Daftar Rujukan
Sukendro, Tresno, Sukarman. 2009. Widya Basa Jawa IX . Surabaya : Erlangga
Arsyad, Maidar dan Mukti. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Anderson, RH. Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka dan pusat Antar Universitas di Universitas Terbuka.
Arsyad, Azhar. 1997. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hendrikus, Dori Wuwur. 2000. Retorika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Madya, Suwarsih. 2009. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action
Research). Bandung: Alfabeta.
Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Retorika Modern (Pendekatan Praktis). Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Susilana, Rudi. 2007. Media Pembelajaran Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Penilaian. Bandung: CV Wacana Prima.
Suyata, Pujiati. 1995. Metodologi Penelitian Pengajaran Bahasa: Suatu Pendekatan Kuantitatif. Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.
Sudjana, Nana. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar baru Algesindo.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara (sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa). Bandung: Angkasa.

Minggu, 12 Mei 2019

Sinau Bareng Wayang


Duryudana adalah putera Prabu Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua. Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun senantiasa bermusuhan, hingga terjadi perang saudara, yang disebut Baratayudha. Negeri HHastinapurapura terhitung kerajaan besar, binatara, maka waktu perang Baratayudha dapat bantuan dari kerajaan lain. Sebenarnya Prabu Duryudana seorang yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan kesaktiannya. Dalam perang Baratayudha ia bertanding dengan Raden Wrekudara. Prabu Duryudana tak dapat dikalahkan. Tetapi ketahuan oleh Wrekudara dari isyarat yang diberikan oleh Prabu Kresna dengan menepuk-nepuk paha kiri yang merupakan kelemahannya. Setelah dipupuh (dipukul) dengan gada, paha kirinya oleh Wrekudara, tewaslah ia. Kelemahan paha ini karena waktu muda Duryudana dimandikan dengan air sakti, ada bagian paha yang tertutup dengan daun beringin, maka tertinggallah bagian badan itu oleh air sakti yang membasahi seluruh badannya. Prabu Duryudana menantu raja Mandraka, Prabu Salya. Mula-mula ia bertunangan dengan Dewi Erawati, Puteri Prabu Salya yang tertua, tetapi gagal karena puteri itu dicuri oleh Kartowiyoga, dan Prabu Duryudana mencari puteri itu tetapi gagal. Putri tersebut diketemukan oleh Raden Kakrasana, maka diperisterilah puteri itu oleh Kakrasana, yang kemudian jadi raja di Madura bernama Prabu Baladewa. Kedua kali Prabu Duryudana bertunangan dengan puteri Prabu Salya yang kedua, bernama Dewi Surtikanti, tetapi puteri itu diperisteri oleb Raden Suryaputra, yang kemudian bernama Adipati Karna. Ketiga kalinya, bertunangan dengan Dewi Banowati, puteri Prabu Salya yang ketiga, luluslah perkawinan ini. Namun sebenarnya, puteri Banowati tak suka pada Prabu Duryudana, karena Banowati berharap akan diperisteri oleh Raden Arjuna. Lantaran ini, Dewi Banowati .menurut juga dipermaisuri dengan Prabu Duryudana, tetapi dengan janji tak akan dilarang semasa Dewi itu bertemu dengan Arjuna sewaktu-waktu. Dikabulkanlah permintaan itu dan terlaksana pada waktu-waktu Banowati bertemu dengan Arjuna tak diganggu-gugat. Prabu Duryudana berputera Raden Lesmanamandrakumara dan Dewi Dursilawati. BENTUK WAYANG Prabu Duryudana bermata telengan, hidung dempak. Berjamang tiga susun dengan garuda membelakang besar, berpraba. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan kerajaan. Batik kain parang rusak barong, tanda kain pakaian bangsawan agung. Prabu Duryudana berwanda: Yangkung dan Jaka Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo. Iklan Duryudana Duryudana putera Prabu Destarastra ing Ngastinapura, Kurawa ingkang paling mbarep. Kerajaan Ngastinapura. Duryudana tunangan karo : 1) Dewi Erawati putri no 1 Prabu Salya (l) 2) Dewi Surtikanti putri no 2 Prabu Salya (gagal) 3) Dwei Banowati putrid no 3 Prabu Salya, gelem dadi garwane Duryudana, nanging duweni syarat diijini ketemu Arjuna sawayah-wayah. Pungkasane kagungan putra kale: a) Raden Lesmanamandrakumara b) Dewi Leksmanawati Titikane Duryudana: 1) Mripate telengan 2) Irunge Dempak 3) Jamange 3 susun kaya Garuda 4) Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. 5) Senjatane duweni klambi perang sekti Sedane kena senjata Gada Rujak Pala senjatane Raden Bima DURYUDANA DURYUDANA adalah putra sulung Prabu Drestarastra, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dari negara Gandaradesa (Plasajenar/Pedalangan Jawa). Ia bersaudara 100 (seratus) orang, --- 99 orang laki-laki dan 1 orang wanita, yang disebut dengan Sata Kurawa. Diantaranya yang terkenal adalah ; Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Durmagati, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Gardapati, Gardapura (raja negara Bukasapta), Kartamarma (raja negara Banyutinalang) dan Patiweya. Duryudana berwatak jujur, mudah terpengaruh karena dungunya dan menyenangi sesuatu yang serba enak dan bergelimang dengan kemewahan. Sebagai pimpinan/orang yang tertua dari keluarga Kurawa yang berdarah Kuru, Duryudana pun disebut dengan nama Kurupati. Ia juga dikenal dengan nama Detaputra, Gendarisuta (anak Dewi Gendari), Jakawitana dan Suyudana. Duryudana menikah dengan Dewi Banowati, putri ketiga Prabu Salya dengan Dewi Pujawati/Setyawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh dua orang putra bernama ; Leksmanamandrakumara dan Dewi Leksmanawati (setelah dewasa kawin dengan Warsakusuma, putra Adipati Karna). Duryudana pandai bermain gada, dan memiliki kesaktian kebal dari segala macam senjata berkat daya kesaktian Minyak Tala yang membaluri/membasuh seluruh tubuhnya. Ia gugur dalam perang Bhatarayuda melawan Bima. Tubuhnya hancur terkena hantaman Gada Rujakpala.

Tindakan Aksi Nyata Modul 3.1.a.10

  Tindakan Aksi Nyata Modul 3.1.a.10 Pengambil Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran             Yekti Eriani, S.Pd CGP Angkatan 4...